Berita  

Ambisi Populis Gubernur Bengkulu: Mengancam Keuangan Daerah atau Membangun untuk Rakyat?

"Dari mana duitnya? Kalau dompet APBD rapuh, rakyat yang akhirnya membayar lewat beban tinggi pajak kendaraan bermotor (PKB) dan retribusi lainnya."

Bengkulu, JejakKeadilan.com – Gubernur Bengkulu Helmi Hasan kembali menjadi sorotan dengan program populisnya: “1 Desa, 1 Ambulans” yang mencakup total 1.514 unit ambulans gratis bagi masyarakat Bengkulu. Selain itu, ada rencana hibah helikopter ke Polda Bengkulu senilai Rp 24–50 miliar, renovasi rumah dinas senilai Rp 6 miliar, hingga pembelian pesawat perintis untuk Pulau Enggano dengan anggaran Rp 30–60 miliar. Tak ketinggalan, proyek pembangunan jalan senilai Rp 600 miliar yang tengah berjalan meski dasar hukumnya diduga kontroversial.

Di permukaan, program-program ini digadang sebagai langkah besar membangun kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan. Namun, jika ditilik dari sisi neraca fiskal, apakah ini benar-benar mampu memberikan dampak positif atau justru menjadi beban berat bagi anggaran pemerintah daerah yang terbatas?

Keterbatasan Anggaran: Beban Besar di Tengah PAD yang Kecil

Program ambulans yang menggunakan mobil Daihatsu Gran Max dengan modifikasi medis diperkirakan menghabiskan biaya sebesar Rp 200–800 juta per unit. Maka, untuk total 1.514 unit:

  • Perhitungan minimal: Rp 302,8 miliar
  • Perhitungan maksimal: Rp 1,2 triliun

Jumlah tersebut belum termasuk biaya operasional tahunan yang diperkirakan mencapai Rp 90–180 miliar. Sayangnya, pendanaan besar ini hanya mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bengkulu yang berkisar Rp 900 miliar hingga Rp 1 triliun setiap tahunnya. PAD terbesar berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak BBM—pungutan yang sudah dikeluhkan berat oleh masyarakat dan pihak diler kendaraan.

Bengkulu sendiri adalah provinsi termiskin kedua di Sumatera setelah Aceh, dengan daya beli masyarakat yang relatif rendah. Target pendapatan pajak pun sangat rawan meleset karena kondisi ekonomi yang masih stagnan. Sebagai gambaran, Transfer ke Daerah (TKD) Bengkulu untuk tahun anggaran 2025 hanya mencapai Rp 1,3 triliun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29 Tahun 2025. Dengan banyaknya kebutuhan belanja wajib lain, rencana ambisius ini semakin terlihat tidak realistis tanpa mengorbankan sektor-sektor penting lainnya.

Melanggar Prinsip Efisiensi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah

Ada aturan hukum yang seharusnya menjadi panduan setiap program pemerintah daerah dalam hal pengelolaan anggaran. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 dan Surat Edaran Mendagri Nomor 900/883/SJ Tahun 2025 menekankan bahwa belanja daerah harus efisien, fokus pada kebutuhan mendesak, berdampak langsung kepada masyarakat, dan bebas dari potensi membebani fiskal jangka panjang.

Jika program besar seperti ambulans gratis, hibah helikopter, pembelian pesawat perintis, hingga proyek jalan Rp 600 miliar ini hanya mengandalkan PAD rapuh dan TKD terbatas, maka risiko pemborosan anggaran semakin nyata—bahkan dapat merugikan generasi penerus di masa depan.

Pendapat Para Ahli: Bahaya Populisme Fiskal Tanpa Perhitungan Matang

Beberapa pakar ekonomi memberikan pandangan terkait fenomena janji populis seperti ini:

  • Prof. Faisal Basri berpendapat bahwa janji politik yang tanpa perhitungan fiskal matang akan melahirkan efek negatif berupa moral hazard. “Rakyat dijanjikan layanan gratis, tapi ketika APBD jebol, rakyat juga yang harus menanggung akibatnya.”
  • Prof. Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa populisme fiskal tanpa disiplin anggaran akan menjadi jebakan bagi generasi mendatang berupa utang yang membengkak. “Belanja harus dilakukan secara efisien, transparan, dan berkelanjutan.”
  • Prof. Joseph E. Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, mengatakan bahwa pengeluaran populis

Sumber : Opini Publik | Vox Populi Vox Dei

Exit mobile version