Bengkulu, JejakRaflesia.com – Pemprov Bengkulu mengaku mendorong reformasi birokrasi. Tapi di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya: pengaburan arah, pembusukan meritokrasi, dan anggaran yang lebih memanjakan proyek populis ketimbang memperkuat pelayanan publik.
Kegagalan menaikkan Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) bagi ASN bukan semata soal aturan Kementerian Keuangan atau keterbatasan fiskal. Dalam KMK No. 29 Tahun 2025, Bengkulu memang hanya mendapat Rp1,3 triliun transfer daerah.
Tapi itu tak menjelaskan mengapa justru Rp500–600 miliar digelontorkan untuk proyek jalan, Rp757 miliar perkiraan dialokasikan untuk 1.514 unit ambulans gratis, dan bahkan ada janji absurd untuk membeli pesawat perintis seharga Rp30–60 miliar.
Apa kaitan semua ini dengan reformasi birokrasi?
Sangat sedikit, bahkan bisa dibilang: tidak ada. Karena esensi reformasi birokrasi adalah membangun pemerintahan yang efektif, efisien, profesional, dan melayani. Sementara itu, Pemprov justru menyabotase sistem dengan langkah-langkah kontradiktif: 27 pejabat eselon II dinonjobkan secara massal, tanpa kejelasan evaluasi kinerja berbasis sistem merit. Hanya alasan keberpihakan dengan rezim yang lama
Birokrasi yang seharusnya dibangun lewat pembinaan, dihancurkan oleh ketidakpastian politik. ASN diminta “bersemangat”, tetapi hak kesejahteraannya ditunda. Mereka diancam akan “dipindahkan” jika dianggap malas, seolah motivasi lahir dari tekanan, bukan kepemimpinan yang adil.
Jika benar ingin mereformasi birokrasi, mengapa justru belanja pegawai diredam, sementara belanja modal bergelimang? Mengapa struktur organisasi diobrak-abrik tanpa peta jalan kompetensi dan pelayanan?
Reformasi birokrasi bukan soal mengganti orang, melainkan menguatkan sistem. Ia tak bisa hidup di atas proyek mercusuar dan loyalitas politik. Ia butuh transparansi, konsistensi, dan keberanian memotong anggaran tak produktif—bukan sekadar menggembar-gemborkan efisiensi sambil membeli ambulans dan membayangkan pesawat.
Bengkulu hari ini sedang membangun sesuatu—tapi bukan reformasi. Yang sedang dibangun adalah narasi sukses semu, di atas birokrasi yang kehilangan arah, pegawai yang kehilangan hak, dan kebijakan yang kehilangan nalar. (**)