Bengkulu, JejakRaflesia.com – Nama Helmi Hasan bukan lagi sekadar figur politik lokal Bengkulu. Ia kini menjelma simbol kontradiksi akut: panggung politik yang makin gagah, tetapi penegakan hukum yang makin lumpuh. Dari Megamall Gate, Bansos, Samisake indikasi penyelewengan APBD, hingga politisasi birokrasi, rekam jejaknya panjang dari Walikota hingga Gubernur saat ini tetapi status hukumnya tetap nihil. Publik hanya bertanya: Kenapa belum juga tersangka?
Padahal, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.”
Sila ke-5 Pancasila memerintahkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk sebagian elite.
Dalam Pidato Presiden RI Prabowo pada 1 Juni 2025 Peringatan Hari PANCASILA mandatnya sangat jelas: penyelewengan, korupsi, dan penyalahgunaan jabatan harus diberantas tanpa pandang bulu, tak peduli jabatan, partai, atau keluarga.
Untuk mempertegas itu, Presiden Prabowo Subianto pada 21 Mei 2025 meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara Terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia, yang juga diteken bersama Mensesneg Prasetyo Hadi. Pesannya gamblang: negara menjamin jaksa bebas bekerja tanpa intimidasi dan intervensi politik.
Landasan hukumnya tak main-main.
UU Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tegas memerintahkan Polri bersikap netral, profesional, bertindak sebagai alat negara penegak hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Polri bertugas menegakkan hukum tanpa tunduk pada kepentingan politik siapa pun.
UU Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 juga menegaskan jaksa wajib menjalankan tugas secara independen, bebas dari tekanan kekuasaan manapun, serta menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan.
Sayangnya, di Bengkulu realitanya jauh panggang dari api. Aparat penegak hukum kerap bersembunyi di balik retorika: proses masih berjalan, bukti masih dikumpulkan, prosedur masih disusun. Padahal publik tahu, kasus-kasus besar seperti Helmi Hasan justru macet di meja kompromi.
Plato pernah berkata: “Justice in the life and conduct of the State is possible only as first it resides in the hearts and souls of its guardians.” Keadilan bukan sekadar pasal, tapi kebajikan moral aparatnya. Nietzsche menegaskan, negara modern sering memelintir hukum demi melanggengkan kuasa.
Ironisnya, jargon Fiat Justitia Ruat Caelum — Hendaklah keadilan ditegakkan walau langit runtuh — sering dijual di forum resmi. Tetapi faktanya, di Bengkulu langit tetap kokoh, proyek tetap diresmikan, strategi Pilkada tetap disusun, sementara keadilanlah yang runtuh lebih dulu.
Hari ini rakyat hanya menagih satu hal: Jangan lagi bicara menegakkan hukum sampai langit runtuh kalau aparat di Bengkulu sendiri gemetar menghadapi penguasa. Perpres 66/2025 menjamin perlindungan jaksa. Inpres TNI memberi dukungan pengamanan. UU Polri dan Kejaksaan sudah mewajibkan independensi. Kalau semua instrumen sudah ada, maka ketakutan hanya tinggal dalih.
“Vox Populi Vox Dei” Suara rakyat adalah suara Tuhan dan suara itu kini menggugat: Beranikah aparat hukum di Bengkulu menepati sumpahnya? Beranikah menjadikan hukum panglima di atas politik di Bengkulu, bukan sekadar figuran di panggung sandiwara?
Kalau tidak, maka jangan heran kepercayaan rakyat Bengkulu runtuh. Dan di sanalah negara hukum benar-benar akan roboh, bukan langitnya.
Sumber : Vox Populi Vox Dei