banner 728x250
Berita  

Warisan Kelam Demokrasi Bengkulu: Antara Luka Sosial dan Upaya Pemulihan

Gedung Pemerintahan Bengkulu disorot senja, menggambarkan perjalanan demokrasi yang berliku
banner 120x600
banner 468x60

Bengkulu, JejakRAflesia.com – Bengkulu tampaknya telah lama akrab dengan ironi demokrasi. Sebelum nama-nama baru bermunculan dalam pusaran skandal politik, sejarah sudah lebih dulu mencatat: Agusrin M. Nadjamuddin, Junaidi Hamsyah, hingga Ridwan Mukti, semuanya pernah merasakan dinginnya jeruji penjara. Seolah tak ada jeda, satu jatuh, satu lagi menyusul. Estafet kehinaan ini seperti warisan yang diturunkan tanpa malu dari satu rezim ke rezim berikutnya.

Akibat dari kedaulatan rakyat yang justru digunakan untuk merampas hak-hak rakyat itu sendiri, baik oleh elite politik, oligarki, maupun rakyat yang tergoda praktik transaksional seperti money politics.

banner 325x300

Kini babak kelam itu kembali berulang. Rohidin Mersyah, mantan Gubernur Bengkulu, tak lagi sekadar wajah dalam baliho program daerah, tapi kini resmi menyandang status tersangka dan ditahan. Ahmad Kanedi, mantan Walikota Bengkulu, mengikuti nasib serupa menjadi tersangka di kasus Megamall.

Belum berhenti di sana: empat Bupati aktif dan satu mantan Bupati terseret dalam kasus dugaan money politics Pilkada 2024, sedang menanti proses persidangan sebagai saksi terseret dalam kasus Rohidin Mersyah.

Kelima orang yang dimaksud adalah mantan Bupati Seluma Erwin Octavian, Bupati Kepahiang Zurdi Nata, Bupati Bengkulu Utara Arie Septia Adinata, Bupati Kaur Gusril Pausi, dan Bupati Bengkulu Tengah Rachmat Riyanto

Nama Gubernur terpilihpun bahkan ikut disebut oleh pengusaha tambang Beby Hussy dalam kesaksian yang mengejutkan di pengadilan Tipikor Bengkulu—mengaku telah membantu salah satu calon gubernur yang oleh persepsi Aan pengacara dan publik merujuk ke ‘Helmi’, sebagaimana Beby juga “membantu” Rohidin dengan Rp1,5 miliar, dengan alasan sebagai bantuan bentuk pertemanan. Baik Rohidin maupun Helmi keduanya menjadi rival politik dalam Pilgub 2024.

Namun di balik semua ini, kita harus bertanya lebih dalam: apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Bengkulu? Dan lebih jauh lagi, mengapa ini terus berulang?

Menurut data BPS 2024, Bengkulu berada di peringkat kedua sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatera, setelah Aceh. Ini bukan hanya statistik, ini adalah luka sosial. Dan seperti yang ditunjukkan oleh antropologi politik, kemiskinan struktural sering kali menciptakan kondisi ideal bagi oligarki lokal untuk mengokohkan kekuasaan melalui patronase, janji, dan amplop politik.

Dari kacamata filsafat politik, fenomena ini menggambarkan paradoks kekuasaan: ketika kuasa yang seharusnya melayani justru menjadi alat untuk merampas. Seperti kata Nietzsche, “kekuasaan bukan hanya diinginkan, tetapi disembah.”
Dalam konteks Bengkulu, kekuasaan menjadi tujuan itu sendiri—bukan sarana untuk kebaikan bersama.

Dalam dimensi sosial-budaya, Bengkulu tak lepas dari stigma yang melegenda: “Lubuk Kecik Buayo Galo”. Ungkapan ini bukan sekadar kearifan lokal, tetapi cermin struktur relasi sosial yang timpang, di mana kekuasaan lebih sering dimaknai sebagai alat dominasi ketimbang pengabdian. Dalam banyak komunitas, kekuasaan bukan lagi soal integritas, tetapi soal siapa yang paling lihai membeli suara dan menjual mimpi.

Dan di titik inilah antropologi budaya menemukan luka kolektif yang membatu: money politics telah menjadi kebiasaan, bahkan “kultur”. Seolah-olah menjadi bagian dari ritual lima tahunan yang dirayakan bukan dengan ide, tapi dengan uang dan janji.

Di sisi lain, dalam sosiologi kekuasaan, ini disebut dengan “lingkaran klien-patron”—relasi antara elit dan rakyat miskin yang saling bergantung dalam kesepakatan tak tertulis. Rakyat butuh uang sesaat, elite butuh suara jangka pendek. Kontrak sosial pun tercabut dari akarnya; digantikan oleh kontrak transaksional.

Kesalahan ini tidak bisa dibebankan hanya pada para pemimpin. Ini adalah kesalahan kolektif—kesadaran sosial yang tumpul, politik yang dibajak modal, dan rakyat yang rela memilih bukan berdasarkan akal sehat, tapi isi kantong. Dari perspektif etika publik, inilah yang disebut sebagai “kerusakan moral demokrasi.”

Akhirnya, semua ini menjadi seperti lingkaran setan yang berulang—seperti kutukan. Politik bukan lagi jalan menuju keadilan sosial, melainkan labirin korupsi yang menyesatkan siapa pun yang masuk ke dalamnya. Dari satu kepala daerah ke kepala daerah berikutnya. Dari satu harapan ke satu kekecewaan.

Bengkulu tak sedang baik-baik saja. Tapi yang lebih tragis: kita telah terbiasa hidup dalam luka, lalu menyebutnya takdir.

Kapan kita sadar segera memutus mata rantai kebusukan demokrasi, sehingga bunga rafflesia kembali mekar nan indah sesuai mimpi dan harapan rakyat Bengkulu tercinta.

Oleh: Vox Populi Vox Dei

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *