Bengkulu, JejakRaflesia.com – “Sekolah gratis”. Frasa ini terdengar indah. Populis. Menyentuh hati rakyat. Apalagi ketika diumumkan oleh seorang gubernur yang sedang gencar membangun citra pro-rakyat. Tapi seperti banyak janji politik lainnya, wacana ini tampaknya masih terjebak di langit-langit retorika. Belum sempat turun menyentuh bumi kebijakan yang nyata. Di Bengkulu, janji itu bernama Helmi Hasan.
Gubernur Helmi, lewat Surat Edaran Nomor: 100.4.4/801/Dikbud/2025, dengan penuh semangat menegaskan penerimaan siswa baru (PPDB) harus bersih dari praktik suap dan pungutan liar. Ia memerintahkan kepala sekolah untuk menjaga integritas. Sebuah langkah yang tentu patut diapresiasi. Tapi publik bukan sekadar butuh seruan moral. Publik butuh bukti fiskal.
Sebab pendidikan gratis bukanlah perkara edaran. Ia adalah perkara uang. Perkara APBD. Dan di sinilah kritik tajam datang dari Forum Komite Sekolah se-Provinsi Bengkulu. Dalam rapat bersama Komisi IV DPRD, Prof. Sudarwan Danim bicara blak-blakan: “Belum ada fakta, termasuk dari gubernur. Faktanya masih nol.”
Dalam bahasa yang lebih lugas: di atas kertas, sekolah gratis; di lapangan, tetap bayar.
Kritik ini bukan tanpa dasar. Bengkulu adalah provinsi dengan daya fiskal terbatas. Menjanjikan sekolah gratis tanpa alokasi jelas dalam APBD ibarat menggadaikan janji di atas utang anggaran. Kalau memang serius, harusnya sudah muncul dalam APBD-P tahun ini, atau setidaknya disiapkan dalam APBD 2026. Sayangnya, sampai hari ini, yang muncul baru wacana. Tanpa hitung-hitungan anggaran, janji tinggal janji.
Di sisi lain, narasi yang dibangun bahwa pungutan selama ini demokratis. Tidak ada paksaan. Rapat komite berjalan lancar. Mereka yang tidak mampu dibebaskan. Sumbangan ditujukan bagi yang mampu. Bahkan Sudarwan menantang publik untuk memverifikasi langsung ke sekolah. Lalu muncul tudingan baru: “Jangan-jangan yang ribut di medsos bukan orang tua murid, tapi kompetisi antar guru.”
Begitulah, di tengah suasana politik usai Pilkada, semua hal menjadi panggung narasi. Helmi Hasan memainkan kartu populis, menyejajarkan dirinya dengan jargon “Bantu Rakyat”. Tapi kritik dari Sudarwan Danim mengingatkan: tanpa keberanian fiskal, semua ini hanya pentas ilusi. Rakyat dijanjikan sekolah gratis, tapi sekolah masih dihimpit biaya operasional yang belum ditanggung negara.
Publik hari ini tidak hanya butuh pemimpin yang bisa bersuara lantang, tapi juga mampu menyusun struktur anggaran yang konsisten dengan janji. Retorika bukan lagi cukup. Kertas-kertas di meja sekolah menunggu keputusan: apakah pungutan akan dihapus atau tetap dibebankan diam-diam? Atas nama sumbang atau apapun istilahnya.
Dan pada akhirnya, yang paling dirugikan bukan elite atau komite. Tapi siswa. Anak-anak Bengkulu. Mereka tumbuh dalam sistem pendidikan yang gamang—di antara papan pengumuman edaran, dan orang tua yang tetap harus merogoh kocek.
Sekolah gratis seharusnya jadi keberanian politik yang ditopang oleh keberanian anggaran. Kalau tidak, ia hanyalah euforia lima tahunan yang dikemas dalam spanduk dan pidato.