Bengkulu, JejakRaflesia.com – Ketika Gubernur Bengkulu Helmi Hasan meluncurkan Rumah Aspirasi Bantu Rakyat, ia tampil meyakinkan. Di hadapan publik, Helmi menyebut telah berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mewujudkan pemerintahan yang good and clean. Sekilas, ini terdengar seperti angin segar di tengah sesak napas demokrasi lokal yang kerap dibumbui aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun, sebagaimana dikatakan filsuf moral Immanuel Kant:
“Niat baik saja tidak cukup tanpa tindakan rasional dan konsisten.”
Sayangnya, di sinilah Gubernur Helmi Hasan terlihat gamang. Deklarasi komitmen anti-KKN justru berbalik jadi retorika tanpa daya gebrak konkret.
Koordinasi KPK: Seremonial atau Strategis?
Jika memang serius ingin diawasi KPK, mengapa tidak meminta pegawai KPK berkantor di lingkungan Pemprov, sebagaimana yang pernah dilakukan Kementerian Pertanian? Bukankah pengawasan harus berjalan embedded, bukan sekadar komunikasi dua arah lewat forum atau dokumen?
Di titik ini, publik wajar bertanya: apakah ini bentuk keberanian menghadirkan pengawasan institusional, atau hanya teatrikal moral untuk menjahit pencitraan bersih? Terlebih, publik masih ingat bagaimana KPK sendiri kini sedang dirundung krisis integritas. Uang sitaan hasil korupsi tidak sebanyak Kejaksaan. Harus jujur tingkat kepercayaan publik kepada KPK sangat rendah (silahkan cari jejak Digital)
Kenapa Bukan Kejaksaan?
Dalam penyerahan “tongkat” simbolik dari Helmi kepada Kepala Kejaksaan RI Sanitiar Burhanuddin. tanggal 2 Juni, satu hari setelah pidato hari Pancasila, Presiden Prabowo sangat keras akan memberatas elit pemerintah, elit partai dll yang menyalahgunakan kewenangannya.
Dalam momen sakral itu kenapa tidak satu pun inisiatif Gubernur Bengkulu Kepada Kepala Kejaksaan Agung RI untuk meminta pengawalan pengelolaan APBD, Pemda Provinsi Bengkulu?
Padahal Kejaksaan, didukung kekuatan TNI dalam konteks pidato Presiden Prabowo pada Hari Lahir Pancasila, telah ditunjuk sebagai penjaga supremasi hukum melawan oligarki dan mafia anggaran.
Pengamat hukum tata negara, Prof. Zainal Arifin Mochtar, pernah mengatakan: “Pengawasan efektif tidak bisa hanya berdasarkan moral personal pejabat, melainkan harus dilembagakan secara struktural.” Maka pernyataan Helmi tentang good and clean governance tanpa aksi kelembagaan hanya akan menjadi lip service politis.
Apa Salahnya Meniru Ahok?
Di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), DKI Jakarta menjadi pionir e-budgeting dan keterbukaan APBD. Dokumen anggaran bisa diakses warga hingga level satuan kerja terkecil.
Di Bengkulu sebaliknya, jangankan akses terbuka, DPRD saja belum menerima buku APBD 2025 secara resmi, sebagaimana diungkap langsung oleh Ketua DPRD Provinsi Sumardi usai demo mahasiswa Gembira (Gabungan IMM dan PMII), Kepada wartawan.
Jika benar Helmi ingin mendorong partisipasi rakyat dan transparansi anggaran, maka mengapa mekanisme digital seperti e-budgeting atau open data tak pernah masuk agenda utama? Bukankah good governance menuntut sistem, bukan sekadar slogan?
Kosmetik Kekuasaan vs Kepercayaan Publik
Filsuf politik Hannah Arendt pernah berkata:
“Kekuasaan tanpa kepercayaan rakyat hanyalah kekerasan yang tertunda.”
Artinya, kepercayaan rakyat hanya bisa tumbuh dari konsistensi antara pernyataan dan kebijakan. Ketika publik dicekoki jargon moral tanpa aksi nyata, di saat yang sama pajak kendaraan PKB memberatkan dan tambang emas di Seluma disambut pro-kontra, tapi gubernur fokus kejar saham tambang 20%,maka yang terbangun bukan pemerintahan bersih, melainkan panggung absurditas birokrasi.
Apalagi Helmi Hasan sebagai Gubernur dan Teuku Zulkarnain, anggota DPRD Provinsi keduanya dari Partai Biru, tidak mencabut kata caci maki dan sumpah serapah serta sinting yang menyakiti sebagian besar Rakyat Bengkulu.
Solusi: Dari Pencitraan ke Perubahan ala Helmi
Jika Helmi Hasan serius, maka langkah berikut ini harus segera dilakukan:
- Minta KPK dan Kejaksaan membuka kantor pengawasan di Pemprov Bengkulu. Bukan sekadar MoU, tapi keterlibatan aktif.
- Dorong realisasi e-budgeting dan keterbukaan anggaran. Minimal mengikuti model DKI Jakarta era Ahok.
- Libatkan publik sipil dan perguruan tinggi sebagai auditor independen. Jangan alergi terhadap kritik, itulah esensi dari Rumah Aspirasi.
- Bangun sistem pelaporan korupsi yang mudah diakses rakyat. Dengan perlindungan hukum bagi pelapor.
Jika tidak, good and clean governance hanya akan menjadi janji-janji “palsu” sebagai brosur politik menjelang 2029 dan akhirnya Rumah Aspirasi tidak “bantu rakyat” hanya tinggal papan nama kosong di jalan yang ramai oleh rakyat kecewa.
Kekuasaan yang bersih hanya bisa tumbuh dari kebijakan yang transparan. Bukan dari pidato. Bukan dari papan rumah aspirasi. Tapi dari sistem yang mengikat, dan keberanian untuk diawasi. (**)